Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi,pekerja profesional atau praktisi di bidangnya,pengamat atau pemerhati isu-isu strategis,ahli/pakar di bidang tertentu,budayawan/seniman,aktivis organisasi nonpemerintah,tokoh masyarakat,pekerja di institusi pemerintah maupun swasta,mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Daftar di sini
Kirim artikel
Editor Sandro Gatra
TUJUH puluh sembilan tahun bukan usia muda lagi,bila dianalogikan dengan sesosok manusia. Usia yang sangat matang dan mapan sepatutnya disimbolkan dan digambarkan oleh sosok dengan usia 79 tahun.
Indonesia raya yang kerap digaungkan dalam setiap upacara bendera hingga pembukaan acara-acara resmi dapat dimaknai sebagai Indonesia yang maju dan sejahtera lewat spirit bangunlah jiwanya (SDM) dan bangunlah badannya (Infrastruktur).
Namun,di usia kemerdekaan Indonesia yang sudah 79 tahun tersebut,ternyata sepenuhnya belum merdeka.
Negara belum mampu menjamin ketersediaan penuh atas kebutuhan pokok bagi entitas warga perbatasan di Pulau Sebatik,Kalimantan Utara,pulau di ujung negeri,yang berhadap langsung dengan negeri jiran,Malaysia.
Di pulau Jawa,sebagian orang mengeluhkan antrean panjang SPBU di pom pertalite. Sebagian memilih membeli bensin lebih malah,yang penting efisien secara waktu.
Di sisi lain,warga perbatasan Sebatik masih dihadapkan pada pilihan,memilih "bensin hijau" (Pertalite Indonesia) atau "bensin kuning (Malaysia) yang jamak dijual secara botolan.
“Bensin kuning Malaysia”,orang Sebatik menyebutnya,dengan takaran yang sama dengan pertalite botolan Indonesia,namun harganya lebih terjangkau.
Selain itu,keberadaan bensin Malaysia juga lebih mudah ditemui di kios pedagang eceran botolan dibandingkan dengan bensin Indonesia yang sewaktu-waktu kehabisan stok.
Bensin kuning tersebut menjadi alternatif penyelamat ketika persediaan BBM Indonesia terbatas.
Patriotisme atau kebutuhan?
Kisah bensin kuning Malaysia yang selama bertahun-tahun menjadi sumber penghasilan tambahan sebagian kecil warga Sebatik,khususnya para pedagang BBM “botolan”,yang juga dipandang membantu hajat warga Sebatik ketika kelangkaan bensin Indonesia terjadi,nampaknya harus segera berakhir.
Lewat surat edaran dengan titah untuk melakukan ilegalisasi terhadap bensin kuning Malaysia,dengan dalih bahwa si bensin kuning tersebut dianggap telah menghambat (Baca: Menyaingi) si bensin hijau.
Seyogianya,posisi kita jelas,mencintai produk Indonesia,adalah keharusan. Product patriotism seperti yang ditulis Nathalie Spielmann dalam jurnalnya pada 2020,menegaskan bahwa perilaku untuk lebih memilih produk dalam negeri daripada produk luar negeri merupakan bentuk patriotism.
Artinya,kita semestinya lebih memilih bensin Indonesia,ketimbang bensin Malaysia.
Namun,perlu kita camkan pula bahwa pemenuhan akan kebutuhan pokok “Human need” sebagaimana dikatakan oleh Abrahan maslow dalam Teori Hierarki Kebutuhan Maslow,juga menyebutkan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar adalah kewajiban.
Lebih lanjut disebutkan Maslow bahwa seorang individu tidak mungkin dapat memenuhi tingkat kebutuhan selanjutnya,yakni kebutuhan rasa aman,kebutuhan merasakan kasih sayang,kebutuhan mendapatkan pencapaian,dan kebutuhan mengaktualisasikan diri apabila mereka belum memenuhi kebutuhan fisiologinya (kebutuhan dasar) di antaranya ialah bahan bakar minyak (BBM).